Bencana Komunikasi Bencana

Ngeyel. Barangkali demikian uneg-uneg pemerintah kepada sebagian rakyat Indonesia hari-hari ini. Uneg-uneg itu kemungkinan besar diiringi dengan rasa geram. Permasalahannya adalah angka kurva positif Covid-19 yang tidak segera turun. Kurvanya justru relatif stabil dengan kecenderungan naik.

Waton. Kira-kira satu kata itu mewakili kesimpulan Saya terhadap celotehan beberapa teman di Whatsapp group. Celotehan mereka rerata mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil. Pemerintah dianggap bertindak semaunya sendiri.

Kita ketahui bersama bahwa bencana non-alam yang bernama Covid-19 telah hampir setahun bersemayam di Indonesia. Realitas statistik kesehatan dan statistik ekonomi belum menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Bagaimana dengan realitas komunikasi?

Secara sederhana, komunikasi yang berlangsung dalam konteks bencana disebut dengan komunikasi bencana. Tujuan komunikasi bencana pada dasarnya adalah upaya pencegahan dan pengurangan resiko kebencanaan (Lestari et al., 2012). Bentuknya berupa pesan atau informasi mengenai bencana; yang meliputi tahap prabencana (pada tindakan preventif), tahap bencana (pada tindakan promotif), dan tahap pascabencana (pada tindakan kuratif).

Tahap komunikasi bencana Covid-19 di Indonesia dapat dikatakan dimulai sebelum pasien pertama resmi dinyatakan positif, oleh Presiden Joko Widodo. Tepatnya pada awal Maret tahun 2020. Komunikasi bencana yang terjadi sebelum pernyataan resmi tersebut, dapat dikatakan termasuk dalam tahap prabencana. Komunikasi yang dilakukan dalam tahap prabencana ini, biasanya dalam kerangka mendukung tindakan yang bersifat preventif, mencegah bencana hadir.

Pada saat itu, berbagai pemberitaan media mainstream dan media sosial cenderung menunjukkan pengabaian terhadap kemungkinan masuknya Covid-19 ke Indonesia. Kabar mengenai sebuah virus baru Covid-19 di Wuhan yang menyebar dalam waktu singkat dan memiliki efek mematikan dipandang sebelah mata. Sebagian masyarakat, bahkan pejabat negara, justru asyik bermain-main dengan media sosialnya untuk mengolok-olok Covid-19. Misalnya; mengaitkan Corona Virus dengan salah satu merek mobil, Corona tidak berani masuk karena kekebalan masyarakat yang sudah teruji, dan banyak lainnya.

Saya kira pengabaian ini merupakan bencana komunikasi pertama. Negara, bersama-sama masyarakat, cenderung sembrono alih-alih berusaha menerapkan early warning. Masyarakat secara psikologis terbuai dan berkurang kewaspadaannya terhadap kemungkinan kedatangan virus ke Indonesia. Akibat awal pengabaian adalah penolakan mengenai fakta Covid-19, seolah Indonesia bebas virus, padahal belum dilakukan pengujian dan pelacakan secara masif.

Ketika pengumuman resmi pasien pertama yang positif Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo, masyarakat langsung panik. Sempat terjadi aksi borong masker dan hand sanitizer, sehingga kedua komoditas tersebut menjadi barang langka. Kepanikan ini didorong oleh adanya berbagai informasi hoaks, serta minimnya literasi mengenai Covid-19.

Di sisi lain, data mengenai penderita Covid-19 tampaknya tidak direpresentasikan dengan baik. Kurvanya cenderung landai, yang sebenarnya tidak logis untuk sebuah wabah baru. Ada kesan menutupi kenaikan angka penderita yang drastis dengan meminimalisir pelacakan. Pada akhirnya, tindakan pemerintah dalam mengendalikan Covid-19 “dibatasi” oleh data yang tidak akurat: cenderung minimalis. Hal ini ditambah pula dengan keengganan masyarakat untuk melakukan uji mandiri dan menyatakan diri sebagai penderita, karena persepsi mereka mengenai adanya perundungan serta stigma negatif oleh lingkungan. Warga Banyumas termasuk menjadi salah satu pelaku perundungan, dengan menolak jenazah pasien Covid-19 di pemakaman umum.

Kejadian kepanikan massal, ketidakakuratan data, dan perundungan lingkungan, merupakan bencana komunikasi kedua. Bencana komunikasi ini gagal mendukung tindakan promotif; yakni memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai what, when, where, who, why, dan how mengenai Covid-19. Masyarakat, dengan tingkat literasi yang cenderung rendah, dibiarkan menerka-nerka apa yang terjadi dan solusi terhadap permasalahan tersebut.

Pada awal tahun 2021 ini secercah harapan penanganan pandemi Covid-19 datang dari adanya vaksinasi. Dunia ilmu pengetahuan didorong dengan sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan produk vaksin hanya dalam waktu setahun, sebuah akselerasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Vaksin dan vaksinasi ini sekaligus menjadi tantangan komunikasi pada tahap pascabencana. Komunikasi pada tahap ini bertugas mendukung tindakan kuratif, menyembuhkan masyarakat dari pandemi secara sosial dan psikologis.

Menurut saya, masyarakat harus mengerti apa yang harus dilakukan setelah vaksin selesai. Apakah mereka bebas seperti dulu? Atau mereka tetap harus menjalankan protokol kesehatan seperti yang selama ini dilakukan? Jangan biarkan masyarakat mengambil kesimpulan sendiri dengan, misalnya, membaca perilaku selebritis yang merayakan sebuah pesta setelah divaksin.

Pemerintah harus secepatnya mengambil langkah-langkah komunikasi pascabencana yang tepat. Jangan biarkan terjadi bencana komunikasi ketiga, pada tahap kuratif. Jangan biarkan terjadi miskomunikasi yang ketiga kalinya, sehingga kata-kata ngeyel yang muncul dalam persepsi pemerintah dan waton yang muncul dari persepsi masyarakat, terus saja terucap.

–Dr. Agus Ganjar Runtiko, Pengajar Prodi Magister Ilmu Komunikasi Unsoed

 

Scroll to top